PERBEDAAN PENDAPAT DALAM ISLAM


1 Sebab-sebab perbedaan pendapat


                Perbedaan pendapat dalam islam sering terjadi, namun hal itu tak perlu ditanggapi berlebihan ibarat sebuah taman yang dipenuhi aneka bunga dengan berbagai warna dan bentuk. Taman tersebut terlihat indah dan tidak membosankan. Berbeda kalau taman itu hanya berisi satu macam bunga saja, ia terlihat monoton, kaku, dan tidak sedap untuk terus dipandang mata.
Allah subhanahu wata'ala menciptakan manusia dengan berbagai variasi warna kulit, bahasa, tabiat, dan bentuk tubuh. Dalam keragaman inilah terdapat keindahan dan kesempurnaan. Dengan kata lain, perbedaan merupakan fitrah dan kehendak Allah SWT.
Allah subhanahu wata'ala menciptakan manusia dengan berbagai variasi warna kulit, bahasa, tabiat, dan bentuk tubuh. Dalam keragaman inilah terdapat keindahan dan kesempurnaan. Dengan kata lain, perbedaan merupakan fitrah dan kehendak Allah SWT.
Sebagaimana yang telah terdeskripsikan dalam latar belakang masalah di atas, bahwa perbedaan pendapat dalam istinbath hukum adalah sesuatu yang niscaya dan tak bisa dihindari. Syariat Islam menjadi lahan yang amat subur bagi terciptanya perbedaan-perbedaan pendapat ini. Di antara faktor yang menyebabkan terjadinya perbedaan pendapat tersebut adalah:
1.  Adanya perbedaan watak dan karakter manusia
Perbedaan watak dan karakter manusia ini menjadi penyebab utama munculnya berbagai macam perbedaan pendapat. Hal ini dikarenakan Allah telah menjadikan manusia berbeda-beda dari segi watak, sikap dan pemahaman, sehingga mau tidak mau dan disadari atau tidak akan memunculkan persepsi dan pandangan yang berbeda dalam menyikapi segala sesuatu.
2.   Adanya pemahaman kaidah bahasa arab yang berbeda
Pemahaman terhadap bahasa arab menjadi salah satu modal penting bagi mujtahid dalam memahami syariat Islam. Ini disebabkan lantaran sumber primer syariat menggunakan bahasa Arab. Permasalahannya kemudian adalah dalam hal pemahaman. Masing-masing ulama memiliki pemahaman yang berbeda satu sama lain. Perbedaan itu mencakup segi-segi penggunaan, gaya bahasa, dilalah, kata-kata musytarak, mutaradif, hakikat, majaz dan sebagainya. Salah satu contohnya adalah dalam hal pemahaman nash yang menjelaskan tentang kewajiban membasuh kedua tangan saat berwudhu yang terdapat dalam surat al-Maidah ayat 6. Mayoritas ulama menyatakan bahwa wajib untuk membasuh tangan sampai pada siku-siku, artinya siku-siku pun harus ikut terbasuh. Hal ini didasarkan karena lafadz “ila” pada kalimat“ilal mirfaqaini” bermakna “ma’iyyah”(bersama/ikut serta). Sementara sebagian ulama yang lain mengatakan bahwa siku tak harus ikut terbasuh karena makna “ila” bermakna “ghayah”(batas akhir).
3.  Adanya perbedaan penetapan maslahah
Tak diragukan lagi, bahwa syariat diturunkan semata-mata untuk kemaslahatan umat. Asumsi pastinya bahwa setiap hukum mesti mengandung apa yang disebut sebagai maslahah atau kebaikan. Namun demikian, dalam hal penetapan maslahah ini ternyata para ulama mempunyai pandangan masing-masing akibat perbedaan adat istiadat, kebiasaan dan kondisi lingkungan yang melingkupi. Bahkan, lantaran begitu besarnya pengaruh kondisi lingkungan dalam penetapan maslahah ini, imam Syafi’i sampai harus mengeluarkan dua  pendapat berbeda dalam satu kasus. Munculnya qaul qadim dan qaul jadidnya menjadi bukti nyata bahwa faktor lingkungan amat mempengaruhi perbedaan pendapat.
4.   Adanya perbedaan dalam memahami nash yang dhanni (asumtif)
Sebagian besar nash adalah nash-nash yang bersifat asumtif. Nash-nash ini pada akhirnya memunculkan banyak takwil dan praduga yang bervariatif dari para mujtahid. Terkadang sebuah nash bersifat global yang menurut sebagian ulama ditakhsis dengan dalil lain, namun menurut sebagian yang lain nash tersebut tidak mengalami pentakhsisan (pengkhususan). Terkadang pula sebuah nash bersifat mutlak yang menurut sebagian ulama diqayyidi (dibatasi) dengan dalil lain, tetapi menurut sebagian yang lain nash tersebut tetap dengan kemutlakannya. 
5.   Adanya perbedaan pemahaman tentang as-Sunnah
As-Sunnah merupakan salah satu sumber hukum Islam yang menempati posisi kedua setelah al-Qur’an. Seluruh ulama mengakui akan hal itu. Problemnya kemudian adalah tak semua ulama satu suara dalam menilai validitas sebuah sunnah Nabi. Tak jarang dijumpai sebuah hadis yang menurut sebagian ulama dianggap sebagai hadis shahih yang layak untuk dijadikan hujjah, tetapi di satu sisi ada juga ulama lain yang menilai hadis tersebut adalah hadis dla’f yang terdapat cacat sehingga tak diperkenankan untuk dijadikan sebagai landasan hukum. Problem seperti ini juga pada  akhirnya berimplikasi pada perbedaan hasil ijtihad.

2 Hikmah adanya perbedaan


                Perbedaan pendapat sudah terjadi sejak masa Rasulullah, Semasa hidupnya, Rasulullah SAW selalu menghargai perbedaan asal-usul, sikap, pendapat dan latar belakang para sahabatnya. Sejak beliau di Makkah sampai hijrahnya ke Madinah tidak satu pun manusia yang direndahkannya karena memiliki sesuatu yang berbeda dengannya. Bahkan beliau pernah mengingatkan: “Seluruh manusia berasal dari Adam, dan Adam diciptakan dari tanah, tidak ada perbedaan antara orang Arab dan yang bukan Arab, kecuali takwanya.”
       Rasulullah saw selalu mengajak manusia ke jalan Allah dengan hikmah (kemaslahatan), suri teladan yang baik (maw’idzah hasanah), dan berdiskusi di antara sesama manusia dengan cara yang paling baik (ahsan). Setelah Rasulullah wafat, ajaran Islam diteruskan oleh para sahabatnya. Saat Rasulullah masih hidup, segala perbedaan yang terjadi di antara umat bisa selesai di hadapan Rasulullah. Tetapi setelah beliau wafat, para sahabat juga mengalami perbedaan pendapat ketika berhadapan dengan suatu masalah. Sebagai contoh, ketika Umar bin Khatab mengusulkan kepada Abubakar ra agar Alquran sebaiknya dibukukan saja, karena banyaknya prajurit Islam penghafal Alquran yang syahid di medan jihad dan khawatir akan hilangnya Alquran. Pada mulanya Abubakar tidak setuju dengan ide Umar dengan alasan karena Rasulullah saw tidak pernah memerintahkannya. Namun, pada akhirnya Abubakar pun setuju dengan usulan Umar karena pertimbangan kemaslahatannya yang besar bagi umat Islam jika Alquran dibukukan. Atas dasar kemaslahatan itulah Alquran bisa sampai dan kita miliki sekarang ini di zaman modern.
Masalah selalu ada, perbedaan dalam menyikapi masalah juga berbeda, tetapi saling berdiskusi dan bermusyawarah untuk menemukan jalan keluar adalah cara paling tepat untuk menyelesaikanya. Berbeda pendapat bukan suatu hal yang asing, berbeda pendapat bukan berarti bermusuhan, tetapi merupakan fitrah manusia dan suatu keniscayaan yang dizinkan Allah dan Rasul-Nya untuk memudahkan dan melapangkan manusia dalam menyelesaikan persoalan hidupnya.

3 Cara menyikapi perbedaan


                Perbedaan sering terjadi namun kita sebagai umat islam yang sangat menghargai perbedaan dan cinta dengan kedamain harus menyikap dengan bijak dan cedas mengenai itu. Dalam menyikapi perbedaan kita bisa mencontoh Rasulullah ketika terjadi perbedaan di kalangan para sahabat di masanya. Dalam Shahih al-Bukhari, Volume 6, hadits no.514, diceritakan bahwa Umar ibn Khattab pernah memarahi Hisyam ibn Hakim yang membaca Surat Al-Furqan dengan bacaan berbeda dari yang diajarkan Rasulullah s.a.w. kepada Umar. Setelah Hisyam menerangkan bahwa Rasulullah sendiri yang mengajarkan bacaan itu, mereka berdua menghadap Rasulullah untuk meminta konfirmasi. Rasulullah membenarkan kedua sahabat beliau itu dan menjelaskan bahwa Al-Qur’an memang diturunkan Allah SWT dengan beberapa variasi bacaan (7 bacaan). “Faqra’uu maa tayassara minhu,” sabda Rasulullah s.a.w, “maka bacalah mana yang engkau anggap mudah daripadanya.” Lihat bagaimana Nabi tidak menyalahkan 2 pihak yang berbeda.
Dalam bulan Ramadhan pun juga ada perbedaan pendapat ketika mereka sedang bermusafir ada yang memilih tetap berpuasa dan ada juga yang memilh tidak berpuasa Saat berbeda pun dalam berpuasa di perjalanan para sahabat tidak saling cela. Ada yang berbuka, ada pula yang tetap berpuasa. Anas bin Maalik berkata “Kami sedang bermusafir bersama dengan Rasulullah Shallallahualaihi wasallam semasa Ramadhan dan di kalangan kami ada yang berpuasa, ada yang tidak berpuasa. Golongan yang berpuasa tidak menyalahkan orang yang tidak berpuasa dan golongan yang tidak berpuasa tidak menyalahkan orang yang berpuasa”. [ hadist riwayat Bukhari and Muslim]
               Berdasarkan contoh-contoh di atas, Nabi dan para Sahabat sangat toleran dalam perbedaan selama belum keluar dari syariat Islam. Kita sebagai umat dari Rasulullah pun juga harus meniru sikapnya dalam menghadapi perbedaan. Kita sebagai manusia biasa mungkin sudah berusaha sebaik mungkin untuk melakukan kebajikan namun, khilaf dari diri seorang manusia tidak bisa dilepaskan. Khilaf (perbedaan pendapat) di mana pun selalu ada. Di mana pun dan sampai kapan pun. Jika tidak disikapi dengan tepat dan bijaksana, tidak menutup kemungkinan akan melahirkan perpecahan, permusuhan, dan bahkan kehancuran. Karena itu, Islam memberi arahan bagaimana cara menghadapi perbedaan pendapat di antara kita semua antara lain :
1. Ikhlas dan Lepaskan Diri dari Nafsu
Kewajiban setiap orang yang berkecimpung dalam ilmu dan dakwah adalah melepaskan diri dari nafsu tatkala mengupas masalah-masalah agama dan syariah. Mereka hendaknya tidak terdorong kecintaan mencari ketenaran serta menonjolkan dan memenangkan diri sendiri. Sebagaimana yang disebutkan dalam hadits, orang yang mencari ilmu karena hendak mendebat para ulama, melecehkan orang-orang yang bodoh, atau untuk mengalihkan perhatian manusia pada dirinya, maka dia tidak akan mencium bau surga (Riwayat Tirmidzi dan Ibnu Majah).
2. Kembalikan kepada Kitabullah dan Sunnah Rasulullah
Ketika terjadi perbedaan pendapat, hendaklah dikembalikan pada Kitabullah dan Sunnah Rasul. Keduanya dijadikan sebagai ukuran hukum dari setiap pendapat dan pemikiran. “Kemudian jika kalian berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (Hadits).” (An-Nisaa’: 59).
3. Tidak Menjelekkan
Masing-masing tetap mempunyai hak yang tidak bisa dihilangkan dan dilanggar, hanya karena tidak sependapat dalam suatu masalah. Di antara haknya adalah nama baik (kehormatan) yang tidak boleh dinodai, meski perdebatan atau perbedaan pendapat semakin meruncing. Wilayah pribadi seperti itu tidak boleh dimasukkan dalam materi perbedaan.
4. Gunakan Cara yang Baik
”Dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.” (An-Nahl: 125).
Berdialog harus dengan cara yang baik (menarik) sehingga bisa mendapatkan simpati dan lawan bicara mau mendengarkan kebenaran yang dibawa. Cara seperti ini terhindar dari sikap yang keras dan kaku, jauh dari perkataan yang menyakitkan dan mengundang antipati.
Penyeru kebenaran adalah orang yang mementingkan dakwah, bukan kepentingan pribadi. Jika bersikap keras dan kaku, berarti telah mementingkan nafsu pribadi sehingga berakibat orang menjauh dari dakwahnya.
5. Pertimbangkan Tujuan dan Dampaknya
Orang yang mencari kebenaran kemudian salah, berbeda dengan orang yang memang sengaja mencari kebatilan lalu dia mendapatkannya. Oleh karena itu, Allah Subhanahu wa Ta’ala tetap memberikan satu pahala bagi hakim yang memutuskan perkara hukum, namun salah, karena niat dan keinginannya untuk mendapatkan kebenaran. Dan Allah tidak membebankan kewajiban kepada manusia kecuali berdasarkan kemampuannya. (Al-Baqarah: 286). Wallahu Ta’ala a’lam.* [Sahid, dilengkapi cha/ www.hidayatullah.com]
Nabi saw. bersabda, “Apabila kamu melihat orang-orang yang ragu dalam agamanya dan ahli bidah sesudah aku (Rasulullah saw.) tiada, maka tunjukkanlah sikap menjauh (bebas) dari mereka. Perbanyaklah lontaran cerca dan tentang mereka dan kasusnya. Dustakanlah mereka agar mereka tidak makin merusak (citra) Islam. Waspadai pula orang-orang yang dikhawatirkan meniru-niru bidah mereka. Dengan demikian, Allah akan mencatat bagimu pahala dan akan meningkatkan derajat kamu di akhirat.” (HR Ath-Thahawi).
“Dikatakan kepada Nabi saw: “Ya Rasulullah, sesungguhnya fulanah menegakkan salat lail, berpuasa di siang harinya, beramal dan bersedekah (tetapi) ia menyakiti tetangganya dengan lisannya.” Bersabda Rasulullah saw., “Tidak ada kebaikan padanya, dia termasuk ahli neraka.” Berkata (perawi), “Sedangkan fulanah (yang lain) melakukan salat maktubah dan bersedekah dengan benaja kecil (tetapi) dia tidak menyakiti seseorang pun.” Maka bersabda Rasulullah saw., “Dia termasuk ahli surga.” (Silsilah Hadits as-Shahihah, no. 190).

Comments